Rabu, 30 November 2011

Bagian Ini :D

Catatan kali ini yang minta bukan kak Lul, tapi mbak Jazimah Al-Muhyi. Jadi mbak Jazim juga saya tag di catatan saya sebelum ini, Bagian Sebelumnya :D #1 dan #2 *terlalu bertele-tele deh saya ini :DD* nah disitu mbak Jazim ada pertanyaan buat Ummi *yang nggak saya sangka-sangka bakalan harus nulis lagi :D* Pertanyaan pertamanya gini: gimana caranya agar sabar menghadapi anak? Okeee… Ummi tersenyum aja saya kasih pertanyaan baru. “ada-ada saja,” gitu komentarnya Ummi. Hehe. Well, mangga di lanjutin bacanya mbak Jazim :) -ooo- Biar sabar menghadapi anak pas lagi nakal *ma’lum anak kecil, saya juga gitu, kadang sampe sekarang? :D :DD*, sang Ibu harus mengamati dulu kenakalan anaknya. *kayak nakalnya sama temen, minta ini minta itu, dsb* setelah itu Ibu mengarahkannya dengan tanpa emosi. Intinya dengan hati dan kepala dingin lah. Kalo hati dan kepala dingin, sendirinya Ibu sudah sabar menghadapi anak :) Nah gimana kalo Ibu kelepasan kontrol? Apa nggak diperbolehkan kalo Ibu marahin anak? Boleh aja. Tapi jangan terlalu dan yang penting kemarahan Ibu Cuma diluar aja, nggak sampe ke hati. Jadi maksudnya sang Ibu nggak sakit hati sama anaknya yang lagi nakal itu. Soalnya kalo Ibu sampe sakit hati, itu malah berpengaruh sama anaknya. Kok bisa? Disini Ummi ngasih penjelasan lain, dan ini yang paling penting untuk menentukan hasil didikan yang baik plus menjadikan anak bisa berbakti pada orang tua. Jadi kalo Ibu sakit hati sama kelakuan anak yang lagi nakal, otomatis secara nggak langsung si anak menyakiti sang Ibu. Padahal Allah sudah melarang semua anak untuk menyakiti hati orang tuanya. Kalopun si anak tetep menyakiti hati orang tua, pasti si anak akan mendapat dampak yang buruk dari kelakuannya itu. Salah satunya jadi tambah nakal dan nggak bisa di atur. Sebabnya Cuma satu, karena Ibu sakit hati. Intinya, kalo Ibu pengen anaknya jadi anak yang berbakti dan nurut sama Ibunya, Ibu nggak boleh sakit hati sama anak. Marah ya marah, tapi hati nggak marah sama sekali. Jadi marahnya bukan karena kesal melainkan untuk mendidik. Gampangnya Ibu harus membantu anak dalam menjadikannya anak yang berbakti dengan cara Cuma marah diluarnya aja *mumet ya =_=* Selain itu, Ibu jangan pernah lupa mendoakan anaknya agar jadi anak yang baik. Berikut ini Ummi ada tips untuk ‘melunakkan’ hati anak. 1. Setiap habis shalat 5 waktu, Ibu membacakan surat Al-Fatihah untuk anak-anaknya. Kalo bisa setiap satu anak dibacakan Al-Fatihah sendiri-sendiri. Kalo nggak bisa, satu Al-Fatihah untuk semua anak juga boleh 2. Setiap malam, Ibu jangan lupa membaca 1. رب أوزعني أن أشكر نعمتك التي أنعمت علي و على والدي و أن أعمل صالحا ترضاه و أصلح لي في ذريتي إني تبت إليك و إني من المسلمين (Al-Ahqaaf : 15) 2. ربنا هب لنا من أزواجنا وذريتنا قرة أعين واجعلنا للمتقين إماما (Al-Furqaan : 74) -ooo- Pertanyaan kedua dari mbak Jazim: bagaimana caranya menetralisir pengaruh buruk lingkungan, misal kata-kata atau perilaku buruk yang ditirukan anak dari temannya? Kalo pertanyaan ini bukan Ummi yang jawab. Tapi Baba. Jadi ceritanya saya nemu tulisan saya sendiri yang saya sadur dari keterangannya Baba di kitab ngaji Ramadhan kemaren *lagi bongkar-bongkar*. Isinya gini: “untuk keberhasilan pendidikan adalah dari lingkungan. Lingkungan terdekat adalah Ayah dan Ibu. Bila Ayah dan Ibu bisa mewarnai lingkungan yang baik, maka anak akan terdidik dengan baik pula. Tetapi masyarakat adalah lingkungan berpengaruh dalam pembentukan.” Saya ngganjel, kok nggak ada terusannya? Akhirnya saya tanyakan ke Baba gimana selanjutnya ini. Dan beginilah jawaban Baba: “oleh karena itu setiap anggota masyarakat harus bergabung dalam menciptakan lingkungan yang membantu anak-anak menjadi orang yang sukses dan berakhlaqul karimah, dengan menyediakan pendidikan Islam, pengajian AL-Qur’an, lembaga pendidikan AL-Qur’an, sosial lah istilahnya.” Saya Tanya lagi, terus apa yang harus dilakukan Ayah dan Ibu kalo ternyata masyarakat nggak mendukung? Jawabnya: “Ayah dan Ibu selalu memberikan pendidikan agama yang memadai dan menunjukkan kesalahan yang ada di tengah masyarakat untuk tidak di ikut.” Hemmm.. jadi sebenernya ini jawaban nggak sengaja. Hehe. Pas saya lihat pertanyaannya mbak Jazim itu kok kayaknya bisa di jawab dengan jawabannya Baba ini. Saya Tanya Ummi dan ternyata jawaban Baba ini adalah jawaban untuk pertanyaan mbak Jazim. So, kesimpulannya kalo anak meniru hal buruk dari temannya maka tugas Ibu adalah memberitahunya kalo itu nggak baik dan nggak layak untuk di ikut. semoga bermanfaat. Wabillahittaufiq :))

1 komentar: