Selasa, 31 Agustus 2010

Pertarungan Hati gadis Pura-pura

Gadis itu menggerutu kesal. Ia menatap Ibunya marah. Sang Ibu hanya menyuruhnya menghadap pada Ayah. Kenapa Ayah begitu tega menyuruhku? Sekarang aku sedang sibuk, Ayah! Batinnya berkecamuk tak karuan. Ia benar-benar marah pada Ayah dan Ibunya yang membuat ia menghentikan aktifitasnya.

Didepan sang Ayah, gadis itu melakukan perintahnya dengan baik. Namun ia tak bisa tersenyum seperti biasa. Hatinya tak berhenti berdialog. Padahal ia tahu bahwa sang Ayah pasti mengetahui kelakuan buruknya ini. Dan ia pun tahu, bahwa sang Ayah dan sang Ibu hanya ingin tahu sampai dimana letak ketaan dan ketundukannya pada sang Ayah dan sang Ibu. Gadis itu menggumam dalam hati kecilnya:
Mengapa Ayah dan Ibu tak kunjung memahamiku? Bukankah Ayah dan Ibu sendiri yang mengajarkanku untuk selalu menepati jadwal harian? Lalu kenapa sekarang? Tidakkah Ayah dan Ibu ingat hal itu!

Tapi, ah.. tidak, maafkan aku Tuhan. Dia Ayah dan Ibuku. Hatiku kacau, tolong aku wahai Nabi, jazallahu anna Sayyidana Muhammadan shallallahu alaihi wa sallama ma huwa ahluh

Pertarungan itu dimulai. Hatinya berkecamuk. Pikirannya telah kalut. Ia membaca bening:

Wa qodlo Robbuka an la ta’buduu illa IyyahHu wa bil waalidaini ihsaanan immaa yablughonna ‘indakal kibaro ahaduhumaa aw kilaahumaa fa laa taqul lahumaa uffin wa laa tanharhumaa wa qul lahumaa qoulan kariiman. Wahfidh lahumaa janaahaddzulli minarrohmati wa qul Robbirhamhumaa kamaa robbayaanii shoghiiroo. Robbukum a’lamu bimaa fii nufuusikum in takunuu shoolihiina fa innahuu kaana lil awwabiina ghofuroo.

Gadis itu masih kesal. Namun ia membenarkan ayat yang baru saja ia baca. Lalu perlahan, gadis itu menyesal dan dengan kekesalannya yang masih menggumpal direlung hatinya yang tengah kacau.

Apakah percuma penyesalanku dengan kekesalan ini? Padahal Tuhanku tahu, siapa orang-orang yang sholeh dan tidak. Ya, aku memang bukan orang yang sholeh. Bodoh sekali aku telah beranggapan bahwa Ayah dan Ibu begitu menyayangiku dan membanggakanku, padahal aku telah berbuat kasar kepada Ayah dan Ibu. Aku marah kepada mereka. Aku hanyalah seorang yang mukhtaalan fakhuur, seorang yang mutakabbirin jabbar, seorang yang jabbaron ashiyya. Maafkan aku Tuhan.

Gadis itu masih kesal. Terhadap sang Ayah yang mengganggunya dan sang Ibu yang menuruti sang Ayah. Ia tersadar.

Aku menyesal namun aku kesal. Aku meminta maaf tapi tidak dengan hati nuraniku? Aku mengatkan diriku jabbaron ashiyya, mutakabbirin jabbar, mukhtaalan fakhuur, tapi aku sedikit tidak mengakuinya? Itu artinya.. aku hanya berpura-pura dengan omong kosongku ini.

Gadis itu melanjutkan dialog batinnya yang bertarung:

Apa yang aku pikirkan didepan Ayahku? Entahlah. Aku harus meminta maaf kepada Tuhan karena aku telah berpura-pura. Tapi aku tidak tahu kebenaran kesimpulanku ini. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Yang aku tahu hanyalah aku telah berbuat jahat pada Ayah dan Ibu.

Mengapa aku bersedih? Aku bersedih hanya akan membuat kemarahanku semakin memuncak. Mengapa aku memikirkannya? Lebih baik aku mengingat hal-hal yang membahagiakanku, daripada hatiku tersiksa sedemikian rupa.

Gadis itu berusaha menghilangkan semua pikirannya. Ia mengingat-ingat sesuatu. Dan ia pun tersadar lagi, ia tak bisa melupakan hal ini. Kekalutan, kegundahan dan kekesalan yang sedang ia terima.

Aku ingin membuat cerita pendek. Lalu aku akan dikenal dengan tulisan yang baik. Aku akan menerbitkannya. Oh, benar-benar aku adalah gadis yang berpura-pura dan cinta kedudukan.

Ayah, Ibu, maafkan aku dengan semua kekesalan dan kesalahan ini.
Desis hati sang gadis pilu. Ia membayangkan senyum sang Ayah dan sang Ibu. Aku akan mencium tangannya. Tekad gadis itu telah membulat. Ya, setelah pekerjaan ini selesai.

Beberapa saat kemudian, perintah sang Ayah telah ia selesaikan dengan baik dan hati dongkol. Ia mencium tangan sang Ayah. Hatinya meneruskan pertarungan itu, ia tidak tahu, apa sebenarnya maksud dari ciuman itu kepada tangan penuh kasih sayang sang Ayah: apakah karena ia meminta maaf atau karena ingin akhir cerita untuk cerita pendeknya yang bagus? Jika ia memang meminta maaf, lantas kenapa ia masih belum bisa tersenyum pada sang Ayah? Mengapa ia masih dengan raut muka yang suntuk dan kesal. Mengapa hatinya masih sangat berat. Mengapa ia masih sangat kesal dan tidak bisa menerima keputusan sang Ibu untuk memanggilnya lantaran disuruh sang Ayah. Dan jika ia mencium tangan sang Ayah hanya untuk akhir cerita pendek karangannya yang akan ia buat setelah ini tanpa meneruskan kegiatan yang ia anggap telah diganggu sang Ayah dan sang Ibu, maka:

Orang macam apa aku? Sekali-kali aku belum temukan jawaban itu. Yang aku tahu dengan pasti adalah: aku benar-benar gadis yang berpura-pura dan… penuh kebohongan.

Gadis itu menuju kamarnya lunglai. Ia mengambil pena dan beberapa lembar kertas. Lalu dengan hati yang kosong gadis itu menuliskan judul:

Pertarungan Hati Gadis Pura-pura…

Parengan, 29 May 2010
Sabtu, 18: 51

Tidak ada komentar:

Posting Komentar