Selasa, 07 September 2010

Bagian Ketiga :)

Sebenarnya, masih ada satu lagi alasan mengapa saya –dan saudara-saudara perempuan saya- tidak boleh sekolah



Sebelumnya, Ayah saya memberi tahu saya bahwa Ayah saya mendidik saya dengan kurikulum Alqur’an. Dan kurikulum pertama adalah membaca Alqur’an itu sendiri



Ibu saya berkata: Kamu tidak disekolahkan, karena kamu harus menghafalkan Alqur’an. Seandainya kamu sekolah pasti kamu akan terisi dengan yang lain, sedangkan Baba dan Ummi menginginkan kamu hafalan Alqur’an saja. Dan bila kamu sekolah dengan hafalan Alqur’an, pasti Alqur’an akan kalah dengan sekolahmu. Baba dan Ummi tidak mau itu terjadi. Bukankah ilmu umum bisa kamu peroleh dari mana saja, tidak harus dari sekolah, nak?



Memang benar. Saya mulai hafalan sejak usia 9 tahun. Begitu juga dengan saudara-saudara perempuan saya, karenanya apa yang saya rasakan telah pula dirasakan kakak dan adik saya.



Bagian ketiga ini, saya ingin bercerita tentang jadwal belajar saya bersama Ibu saya.



Saya mulai belajar sejak usia SD, yaitu 7 tahun. Saat itu, saya belum mulai hafalan Alqur’an. Ayah dan Ibu saya tahu, usia 7 tahun belumlah usia untuk membebani, usia 7 tahun masihlah usia bermain anak-anaknya. Saya sempat hafalan saat itu juga, namun Ibu saya menghentikannya karena saya sama sekali belum serius menekuninya



Kembali pada pembicaraan semula. Saya mulai belajar setelah Ibu saya selesai merawat kakak-kakak saya yang akan berangkat ke sekolah. Mulai dari menyiapkan sarapan sampai memberi uang saku. Setelah itu, barulah Ibu saya masuk ke kamar, sedang saya telah menunggu beliau. waktu itu sekitar pukul 7.00



Pelajaran yang dibahas pun berbeda-beda. Hari ini matematika, besok bahasa Indonesia, lusa Sejarah dan seterusnya. Ibu saya hanya menyuruh membaca, lalu setelah itu menerangkannya, menanyai dan memberi soal. Ketika sudah jam 8.30, Ibu saya meninggalkan saya untuk mengajar mbak-mbak santri. Dan saat Ibu saya tidak ada, saya harus mengerjakan soal-soal dari Ibu saya, bila selesai jawabannya, maka selesai pula kegiatan belajar saya. Saya sudah main bersama boneka-boneka atau hanya sekedar mendengarkan Ayah saya mengajar mbak-mbak santri. Bila Ibu saya selesai mengajar mbak-mbak santri, maka Ibu saya akan mengoreksi jawaban saya lalu menilainya.



Saat menilai itu adalah saat paling menyenangkan bagi saya. Karena saat itu, Ibu saya memberikan nilai dengan senyum lembutnya. Senyuman yang selalu saya rindukan sampai kapanpun



Adapun kakak saya, usia kami terpaut 8 tahun. Ketika saya mulai belajar bersama Ummi, kakak saya ‘sudah lulus’. Dia tidak lagi beljar bersama Ummi seperti saya, tapi kakak saya sudah mulai belajar bersama mbak-mbak santri. sedangkan saya dan adik saya terpaut 5 tahun, saat saya belajar bersama Ummi, adik saya masih balita. setelah ia berusia 7 tahun, barulah ia memulai belajarnya. kami belajar bersama, saya kelas 6 adik saya kelas 1. Ummi bergantian mengajarkannya, namun metodenya tetap sama. menyuruh membaca, menerangkan, menanyai dan memberi soal



Namun saya tidak begitu ingat, sebenarnya sejak usia berapa saya mulai belajar. Memang benar usia 7 tahun, tapi usia itu adalah usia belajar mata pelajaran, bukan usia belajar membaca dan menulis. Seingat saya, dibawah usia 7 tahun itu Ibu saya sudah mengajari saya membaca dan menulis.



Kalau mengingatnya saya jadi sangat senang dan merasa menjadi anak paling beruntung didunia ini, hehehe. Kali pertama Ibu saya menuliskan abjad untuk saya, lalu mengenalkannya. setelah itu saya harus hafal. saat saya telah hafal, Ibu saya menggandeng-gandengkan huruf konsonan dengan huruf vocal.



“bila B digandeng dengan A, maka membacanya BA. bila digandeng dengan I membacanya BI, bila digandeng dengan U membacanya BU, bila digandeng dengan E membacanya BE, bila digandeng dengan O membacanya BO.” begitu kata Ibu saya sehingga saya mengangguk-anggukkan kepala saya. lalu Ibu saya menuliskan kata, Biba misalnya, dan menyuruh saya membacanya. bila saya membaca Biba, Ibu saya akan tersenyum dan membaca hamdalah, namun bila saya sudah lupa bagaimana membacanya, Ibu saya akan mengulangnya lagi dari awal dengan sabar. begitu seterusnya sampai huruf Z. dan Ibu saya akan menuliskan beberapa kata untuk saya membacanya, tidak ketinggalan pula, bila huruf konsonan ini digandeng dengan huruf konsonan yang ini maka membacanya begini… sangat menyenangkan dan tidak susah sama sekali



Kemudian, saat usia saya sudah 9 tahun, Ibu saya tetap mengajar seperti biasanya. hanya saja kegiatan saya bertambah dan sedikit berubah, setelah subuh Ibu saya membacakan saya Alqur’an untuk saya hafalkan besok, jam 7 saya mulai menghafalkannya. baru setelah itu saya mulai belajar bersama Ibu saya. kegiatan belajar saya juga ada hari liburnya, yaitu hari jum’ah. dan bila sudah waktunya ujian, maka Ibu saya juga akan memberikan soal-soal ujian. hanya saja saya tidak mendapat rangking karena saya hanya belajar sendirian. hehehe…



Dan ketika saya telah ‘lulus’ kelas 6, Ibu saya berkata kepada saya: sekarang Lubabah sudah besar, tidak perlu belajar lagi sama Ummi. gantian adik yang belajar. Lubabah sekarang belajar bersama mbak-mbak seperti kakak, agar Lubabah menjadi orang yang alim agama…



Setelah itu, saya pun benar-benar lulus dan masuk pada ‘SMP’ dipondok. Kelas satu mustawal ibtida’I.



Itulah kegiatan belajar saya bersama Ibu saya. Sebentar, santai, namun tetap membawa Ilmu..



Terimakasih Baba, terimakasih Ummi, tanpa Baba dan Ummi yang selalu mengajar saya, saya tidak akan pernah bisa apa-apa. Maafkan saya tak bisa membalasnya, hanya untaian doa mutiara saya yang aka selalu menemani hari-hari Baba dan Ummi. selalu doakan saya dan sudara-sauadara saya, Baba, Ummi… saya begitu mencintaimu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar