Sabtu, 04 Desember 2010

Kikir dan Dermawan

Suatu hari di hari rabu.

Tiba-tiba saya harus menjadi badal (pengganti) Musa’idah yang sedang sakit untuk mengisi pelajaran di di kelas adik kelas saya.

Tentu saja saya kaget, kasarannya saya harus “mengajar”. Padahal saya masih bodoh, masa saya harus “mengajar”?
Saya tidak mau, tapi saya masih didesak. Parahnya lagi para Musa’idah langsung bilang sama Ummi, tentu saja Ummi mengiyakan saya menjadi badal.

Saya benar-benar tidak siap, jam 7.30 sudah harus masuk, sedangkan mata pelajaran yang harus saya bawakan belum pernah sama sekali saya pelajari.

Ya.. memang saya dulu juga mempelajari kitab itu. Tapi belum sampai khatam

Akhirnya saya kalah. Mau tidak mau saya harus menjadi badal Musa’idah yang sedang sakit itu. Saya tidak mungkin menang menghadapi Ummi saya.

Saya bingung, benar-benar bingung. Saya sama sekali tidak memahami apa yang harus saya bawakan untuk adik kelas saya itu.

Tapi saya tau saya tidak boleh menyerah. saya punya Baba! Baba bisa mengajarkan pelajaran ini sekarang juga. Maka saya pun meminta Baba untuk menerangkan dan menjelaskannya.

Jam 7.30 pun datang. Saya harus masuk kelas adik kelas saya itu. Gugup, grogi, tidak percaya diri, dan takut segala macam menghantui pikiran saya.

Tapi saya ingat nasihat Ummi “kamu tidak mengajar, tapi belajar bersama.” Saya juga ingat nasihat kakak perempuan saya “saat masuk kelas, kamu harus pasrahkan semuanya pada Allah. jadi sampaikan pelajaran dengan mengandalkan Allah, jangan mengandalkan akal-pikiran.”

Berbekal nasihat Ummi dan kakak perempuan saya, saya pun membuang jauh-jauh rasa gugup, grogi, tidak percaya diri dan takut dari hati saya. saya tau, saya punya Allah. saya mengandalkan Allah atas apa yang akan saya sampaikan.
Di kelas, saya sampaikan apa yang telah dijelaskan Baba kepada saya.

Namun saya tidak tau, tiba-tiba saja saya menambahi keterangan dari Baba. (Waktu itu membicarakan tentang kikir dan dermawan):

“kita tidak boleh menjadi orang yang kikir, karena orang yang kikir tidak akan disenangi manusia, dan Allah. tapi bukan hanya sampai disitu, kita juga harus ingat, bahwa orang yang paling kikir adalah orang yang tidak membaca shalawat ketika nama Rasulullah disebut. Seperti yang disebutkan dalam suatu hadits. Jadi apabila kita tidak mau membaca shalawat, maka kita juga termasuk orang yang kikir, bahkan yang paling kikir. Dan begitu juga sebaliknya, bila kita mau membaca shalawat kepada Rasulullah, maka kita menjadi orang yang dermawan. Sekarang apa guna menjadi orang yang dermawan ilmu dan harta bila ia tidak dermawan kepada dirinya sendiri dengan tidak membaca shalawat kepada Rasulullah? Karena itu, kita harus menjadi orang yang benar-benar dermawan dan tidak kikir. Bukan hanya dalam ilmu dan harta saja, tapi juga dalam membaca shalawat..”

Saya kaget, kenapa saya bisa bicara seperti itu.

Setelah pelajaran selesai, ketakutan kembali menghantui pikiran saya. saya benar-benar takut bila apa yang saya sampaikan itu salah. Baba tidak menerangkan akan hal itu!

Ketakutan itu masih saja menghantui saya. dan betapa bodohnya saya, saya hanya menyimpan ketakutan itu sendiri. Saya tidak menanyakannya kepada Baba atau Ummi. Padahal kalau saya mau menanyakannya dan memang benar apa yang saya sampaikan itu salah, maka saya bisa mengklarifikasi keterangan saya tadi pada adik kelas saya.

Hingga maghrib tiba, saya masih dalam ketakutan saya. namun saya pun pasrah, kalau memang saya salah, semoga Allah mau memaafkan kesalahan saya itu. Saya mulai berusaha melupakan ketakutan itu dengan segera bersiap-siap untuk sholat, sekalian agar nanti tidak ketinggalan majlis shalawat. Setiap hari rabu ba’da maghrib, ada majlis shalawat ibu-ibu di rumah saya.

Hingga akhirnya, ketika shalawat sudah selesai dibaca, Baba pun memberi pengajian seperti biasanya. Dan saya benar-benar tersentak kaget, saya tidak percaya saat Baba berkata:

“kita tidak boleh menjadi orang yang kikir, karena orang yang kikir tidak akan disenangi manusia, dan Allah. tapi bukan hanya sampai disitu, kita juga harus ingat, bahwa orang yang paling kikir adalah orang yang tidak membaca shalawat ketika nama Rasulullah disebut. Seperti yang disebutkan dalam suatu hadits. Jadi apabila kita tidak mau membaca shalawat, maka kita juga termasuk orang yang kikir, bahkan yang paling kikir. Dan begitu juga sebaliknya, bila kita mau membaca shalawat kepada Rasulullah, maka kita menjadi orang yang dermawan. Sekarang apa guna menjadi orang yang dermawan ilmu dan harta bila ia tidak dermawan kepada dirinya sendiri dengan tidak membaca shalawat kepada Rasulullah? Karena itu, kita harus menjadi orang yang benar-benar dermawan dan tidak kikir. Bukan hanya dalam ilmu dan harta saja, tapi juga dalam membaca shalawat..”

Sungguh, saya benar-benar kaget dan tercengang tidak percaya. Itu kata-kata saya tadi pagi! Yang telah membuat saya ketakutan!

Saya terharu, Baba tau apa yang ada dipikiran saya. Baba tau akan ketakutan saya. saya lega sekali, sangat lega.

Ternyata apa yang saya sampaikan tidak salah sama sekali. Karena Baba pun menggunakannya untuk mengisi pengajian.

Kelegaan saya semakin bertambah, ketika majlis telah bubar dan Baba pulang ke rumah, saya dapati senyuman Baba kepada saya, seolah-olah Baba berkata: kamu tidak usah takut salah, nak…

Terimakasih Baba, terimakasih atas penjelasan dan pembenaran yang Baba berikan kepada saya. jazakumullah ashanal Jaza’, Baba… narju dua’akum Abadan sarmadan..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar