Jumat, 31 Desember 2010

Saya dan Kecoa

Kejadiannya sudah lama, yaitu ketika adik saya (Bontot) masih duduk di kelas B diniyah Tarbiyatul Banat, atau lebih tepatnya 5 tahun silam...



Sesuai jadwal waktu saya, selepas dzuhur usai ta'lim ammah (pengajian umum) bersama Baba, saya menyendiri di kamar guna melancarkan hafalan alqur'an saya. Waktu itu saya sampai mana surat apa dan juz berapa saya lupa. Yang saya ingat waktu itu saya kerepotan dalam menghafal.



Pukul 7 pagi memang sudah saya hafalkan, tapi entah, seolah semua hafalan saya hilang begitu saja.



Saya ingin menangis dan menyerah, daripada esok saya tidak lancar dihadapan Ummi lebih baik saya tidak menyetorkannya. Begitu pikir saya.



Namun tiba-tiba adik saya masuk kamar. Dia sudah mengenakan pakaian diniyahnya. Saat dia hendak menyiapkan buku-bukunya, tiba-tiba dia berteriak. Ternyata di ujung tempat tidur kami ada seekor kecoa.



Awalnya saya tidak menghiraukan adik saya yang memperhatikan kecoa itu, saya hanya memikirkan hafalan saya!



Tapi lambat laun saya tertarik juga untuk memperhatikan kecoa itu. Bayangkan saja, adik saya yang terkenal tidak mau kalau tidak berangkat awal waktu itu tidak jadi berangkat hanya gara-gara seekor kecoa.



"haa ayo! Ayoo..! Dikit lagi!" teriaknya bersemangat. Saya benar-benar tidak tahan untuk memperhatikan kecoa itu. Ada apa gerangan sampai-sampai adik saya rela berangkat agak telat demi seekor kecoa?



Ternyata kecoa itu berusaha untuk memanjat dinding agar bisa sampai pada jendela kamar saya.



Saya hanya memperhatikan kecoa itu. Berkali-kali ia jatuh, namun ia tidak putus asa bahkan terus berusaha.



Agak lama memang, tapi akhirnya kecoa itu sampai juga pada jendela. Adik saya bersorak senang lalu pergi begitu saja.



Saya terdiam dalam renungan...:

Kalau kecoa saja yang tidak punya akal terus berusaha untuk mencapai tujuannya, mengapa saya yang punya akal justru tidak?



Kecoa itu tidak putus asa sama sekali untuk sampai pada jendela, bahkan ia tekun berusaha dengan disertai kesabaran dan akhirnya ia pun sampai!



Lalu, haruskah saya menerima kekalahan dari makhluq kecil tak berakal itu?



Tidak! Saya tidak boleh menyerah. Saya tidak boleh putus asa dan saya harus berusaha untuk menghafal lagi. Kerepotan itu tidak sendiri, kerepotan disertai dengan kemudahan. Dan kemudahan itu harus bersanding dengan kesabaran...



Saya pun mantap dengan renungan itu. Dan perlahan-lahan, saya memulai lagi untuk menghafal. Ya, meskipun agak repot tapi saya tidak boleh menyerah. Karena jika saya menyerah maka kerepotan itu akan ada selama-lamanya.



Terimakasih, ya Robb. Kau jadikan aku makhluq yang berakal. Dan semoga Kau jadikan aku makhluq berakal yang bisa menggunakan akalnya...

1 komentar: